Senin, 27 Juni 2011

Latar Belakang Pendirian Asrama

 
 
Sesuai ketentuan WHO, di mana Indonesia pada waktu itu dinyatakan termasuk daerah yang terjangkit kolera, maka  Pemerintah Arab Saudi mengambil tindakan prefentif seluruh jemaah haji harus menjalani karantina.  Sejalan dengan itu pada tahun 1970 pemerintah Republik Indoensia memberlakukan ketentuan bagi calon/jemaah haji harus menjalani karantina selama 5 X 24 jam sebelum diberangkatkan  ke Arab Saudi atau tanah suci dan setibanya kembali di tanah air..

Pada tahun 1973   karantina/pengasramaan haji   untuk masing-masing calon haji diperpendek menjadi 3 hari sebelum berangkat ke tanah suci dan 3 hari setelah tiba kembali di tanah air.

Mulai tahun 1973 jumlah jemaah haji yang menggunakan kapal udara mengalami kenaikan tajam sampai 3 kali lipat dari jumlah tahun sebelumnya. Memperhatikan hal itu, maka pemberangkatannya yang semula dilaksanakan dari 2 embarkasi Jakarta dan Surabaya pada tahun 1974 dilaksanakan dari 3 embarkasi Jakarta, Surabaya dan Medan.

Untuk melaksanakan karantina/pengasramaan, karena pemerintah belum mempunyai asrama haji sendiri, maka karantina haji dilakukan dengan menggunakan wisma/asrama swasta yang untuk menyewanya dibutuhkan biaya yang sangat besar, disamping itu asrama/wisma yang disewa tersebut tidak didesain dan tidak dilengkapi sarana yang sesuai dengan kebutuhan untuk pelayanan jemaah haji.

Beberapa wisma/asrama yang  pernah disewa pemerintah untuk persiapan pemberangkatan calon/jemaah haji untuk Embarkasi Jakarta a.l. :  Wisma Pabrik sepatu Ciliwung, Asrama ABRI Cilodong,  Asrama KKO AL Jl. Kweni, Asrama Haji PHI Kwitang, Asrama PHI Cempaka Putih, Wisma Tanah Air Depsos, Wisma Atletik  Senayan, Hotel Nirwana Jatinegara dan Ponpes Asysyafiyyah.

Mempertimbangkan hal tersebut,   Direktur Jenderal Urusan Haji Prof. K.H.  Farid Ma’ruf memandang perlu adanya suatu asrama karantina haji Indonesia, dan mengeluarkan  Surat Perintah Nomor : SP – 08/1974 tanggal 24 April 1974 tentang pembentukan Team Perencanaan Pembangunan Asrama Karantina Haji  yang beranggotakan  3 orang pejabat  yaitu :

1.       H. M. Dahlan Effendhy (Pjs Direktur Penyelenggaraan Haji) sebagai Ketua;
2.      H. Ibrahim, S.H.  (Kepala Bagian Perencanaan dan Pengawasan) sebagai Sekretaris;
3.  H. Satijo Poerbosoesatijo,  S.H. (Kepala Administrasi)  sebagai Anggota, dengan tugas supaya merencanakan pembangunan gedung asrama haji dalam bentuk DUK berikut rencana biaya yang terinci dengan syarat  :
-            letak di pinggir jalan besar;
-            air cukup;
-            ada listrik;
-            memuat kurang lebih 1.500 orang dan berkamar – kamar;
-            ada mushalla, aula dan ruang makan.

Pada masa H. Alamsjah Ratu Perwiranegara (Letjen Purn. TNI AD) menjabat Menteri Agama R.I. dan  H. A. Burhani Tjokrohandoko (Mayjen Purn. TNI AD) menjabat Direktur Jenderal  Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, SP 08/1974 tersebut ditindak lanjuti dengan pencarian tanah untuk asrama haji  Jakarta. Sebanyak 103 lokasi tanah masuk dalam daftar yang harus diteliti, sehingga tinggal 2 pilihan yaitu tanah yang berlokasi di kawasan Cengkareng dan tanah yang berlokasi di pinggir Jalan Raya Pondok Gede.
 
Akhirnya  dengan pertimbangan kedekatannya dengan bandara Halim Perdanakusuma, ditetapkan pembangunan asrama haji dilaksanakan di atas tanah pinggir Jalan Raya  Pondok Gede Kelurahan Pinangranti Kecamatan Makasar, dengan luas tanah 10 Hektar yang kemudian menjadi  152.844 M2 (15 hektar) dengan sertifikatnya  termasuk yang dipakai Rumah Sakit Haji Jakarta.
    
Pada tahun 1977 Direktur Jenderal Urusan Haji  membentuk  sebuah Team melalui  Surat Keputusan  No. 20 Tahun 1977 tentang Pembentukan Team Pembelian Tanah dan Pembangunan Gedung Kantor Ditjen Urusan Haji dimana H. Satijo Poerbosoesatijo, SH sebagai Ketua dan H.M. Dahlan Effendy sebagai Wakil Ketua dan H. Mukri sebagai Sekretaris Team dengan anggotanya yang terdiri   H. Ibrahim, SH,   H. Muhda Hadisaputra, SH,  H. M. Mardjuddin Hambali,  dan  Drs. H.S. Winarno, semuanya dari  Ditjen Urusan Haji Departemen Agama.

Selanjutnya  Gubernur DKI Jakarta  Ali Sadikin  mengeluarkan Surat Keputusan No. 944/A/K/BKD/77 tanggal 2 Mei 1977, memberikan izin tanah yang berlokasi di pinggir Jl. Raya Pondok Gede yang nota bene berada dalam kawasan Lanud AURI tersebut untuk dibangun Asrama Karantina Haji.
 
Tanah tersebut  termasuk jalur hijau yang seharusnya bebas dari bangunan sebagai kawasan pengamanan  lingkungan  AURI.

Pada tahun berikutnya Menteri Agama R.I.  H. Alamsjah Ratu Perwiranegara mengeluarkan Surat Keputusan No. 89 Tahun 1978 tertanggal 21 September 1978 yang menunjuk R. Hoesein Thoib sebagai Ketua Proyek dan H. Sanusi (Purnawirawan Kolonel TNI AD) sebagai Bendaharawan Proyek Pembangunan Asrama Haji Jakarta, maka dimulailah pembangunan asrama haji  di pinggir Jalan Raya Pondok Gede. Dan satu tahun berikutnya asrama haji tsb sudah bisa dipakai.

Pada waktu peresmian asrama haji tersebut, Menteri Agama  H. Alamsjah Ratu Perwiranegara   dalam   sambutannya   antara  lain  mengatakan   bahwa :

 “Asrama Haji Pondok Gede ini dibangun dengan uang jemaah haji, sehingga kita  kembalikan untuk pelayanan jemaah haji yang berujud bangunan asrama haji”.